Jumat, 14 Mei 2010

Kisah Muslimah Pejuang Quran

Kesibukan dan rutinitas kerja yang tiada habisnya, sering menjadikan hati meranggas, kosong dan gersang dari nilai-nilai yang menyejukkan iman. Ini jugalah yang dirasakan beberapa muslimah yang bekerja di gedung perkantoran kawasan Thamrin, Jakarta Pusat. Mereka merasakan suatu kebutuhan yang dapat memuaskan rasa dahaga jiwanya, di tengah kecukupan akan pemuas dahaga dunianya. Mereka mendamba keluasan hati laksana samudera, kesejukan jiwa laksana dedaunan penuh embun di pagi hari, dan ketentraman batin laksana bunyi deru ombak menerjang pantai.

Ketika mereka membaca dan mendengar tentang keutamaan membaca Al-quran dari ceramah-ceramah yang didengarnya, hati mereka pun makin jatuh hati dan ingin segera menjadikan Al-quran sebagai pengisi sisi ruang batinnya yang gersang itu. Sudah masyhur di tengah perbincangan mereka bahwa bagi yang membaca Al-quran, maka satu huruf yang dibacanya berbalas dengan sepuluh kebaikan.

Dan bukanlah “Alif Lam Mim” itu satu huruf, akan tetapi “Alif” satu huruf, “Lam” satu huruf, dan “Mim” satu huruf. Luar biasa, dengan membaca “Alif Lam Mim” saja, pembaca Al-quran sudah mendapatkan tiga puluh kebaikan. Bagaimana dengan membaca lebih dari itu? Bagaimana pula jika ayat-ayat itu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari? Tentu, pribadi-pribadi yang dihiasi dengan nilai Al-quran akan memancarkan kedamaian dan kesejukan yang luar biasa. Di dadanya penuh kebaikan. Dan kebaikan itu, laksana wewangian yang aromanya semerbak dan menyebar ke orang lain.

Sungguh indah gambaran seorang pembaca Al-quran, pohonnya bagus dan buahnya wangi. Itu adalah balasan Allah di dunia. Dan di akhirat Al-quran akan memberikan syafaat bagi pembacanya sehingga ia terhindar dari jilatan api neraka yang menyala-nyala. Hati orang-orang beriman jelas tersentuh mendengar kabar gembira ini, dan terpacu motivasi untuk segera mewujudkannya.

Kabar keinginan dan hasrat belajar baca Al-quran dari ibu-ibu muslimah itu pada akhirnya sampai ke Aisyah, guru tahsin quran di kawasan Iqra’ Islamic Center Bekasi. Aisyah mencoba membawa keinginan mereka itu ke lembaga yang menaunginya. Beberapa guru teman Aisyah berkeberatan memenuhi keinginan ibu-ibu di gedung perkantoran di Jalan Thamrin karena lokasinya yang cukup jauh sehingga dibutuhkan waktu dan energi yang cukup besar untuk dikorbankan.

Sementara mereka mengetahui bahwa honor mengajar baca Al-quran itu tidaklah seberapa. Barangkali, guru-guru itu lebih nyaman mengajar di lingkungan sekitar tempat tinggalnya, yang tidak menyita waktu begitu besar, sehingga masih bisa memantau keadaan anak-anak yang diasuhnya. Ya, kebanyakan guru-guru tahsin itu memang sudah berkeluarga dan memiliki beberapa anak. Inilah barangkali kondisi yang belum mencapai titik temunya dan menjadi penghalang penyebaran laju nilai-nilai Al-quran, khususnya di kalangan muslimah perkantoran.

Bagi Aisyah, keinginan belajar dari ibu-ibu di perkantoran itu ibarat benih yang harus dipelihara dan disediakan media pertumbuhannya. Alangkah sayangnya jika benih itu dibiarkan mati sebelum ditanam. Bukankah dakwah itu sejatinya menumbuh-suburkan kebaikan, baik pada diri sendiri maupun orang lain? Dan bukankah setiap usaha mengajak orang pada kebaikan membutuhkan pengorbanan?

Aisyah sangat memahami kondisi itu. Maka meski dirasakannya cukup berat, dia melangkahkan kaki ke gedung perkantoran tersebut menyambangi ibu-ibu yang dahaga dengan bacaan Al-quran. Kadang untuk pergi ke sana, tidak segan ia menumpang taksi untuk mengejar ketepatan waktu pembelajaran.

Terkadang pula, ia harus berhimpit-himpitan beberapa kali naik moda transportasi, menahan lelah akibat mengurus anak-anak sebelumya dan berjuang melawan asap rokok dan debu-debu yang beterbangan di sekelilingnya. Ya, kondisi badannya memang rentan. Ia mengidap penyakit asma. Tetapi kecintaan kepada ibu-ibu yang mendamba oase iman dari lautan kalam Ilahi itu, menjadikannya harus melupakan kondisi berat yang kadang dijumpainya.

Mengetahui bahwa keinginan mereka terwujud, Ibu-ibu di gedung perkantoran itu bahu membahu menyediakan waktu luang dan tempat yang memadai untuk belajar baca Al-quran. Mereka berpatungan untuk mendukung operasional kegiatan. Layaknya organisasi mereka membentuk ketua, bendahara, dan sekretaris.

Mereka bersyukur bisa mendatangkan seorang guru karena untuk datang sendiri-sendiri ke lembaga tahsin pada hari Sabtu atau Ahad, bagi mereka adalah suatu pekerjaan yang teramat berat. Mereka merasa harus siaga di rumah mendampingi suami dan anak-anak, sebagai kompensasi ketidakhadiran mereka pada hari-hari lainnya akibat bekerja di kantor.

Dan kini, Alhamdulillah mereka merasakan indahnya hidup bersama Al-quran. Pucuk dicinta, ulam tiba. Demikian bunyi peribahasa yang boleh jadi menggambarkan perasaan mereka yang dipenuhi kesyukuran bisa belajar membaca Al-quran.

***

“Sebaik-baik kamu adalah yang belajar quran dan mengajarkannya”. Demikian seruan Rasulullah SAW kepada ummatnya. Seruan itu bergema sejak sekitar empat abad yang silam ketika beliau berpeluh keringat mengorban jiwa raga memperjuangkan nilai-nilai Al-quran. Kini, betapa sedikit umat yang menyambut seruannya bahkan sekedar untuk membaca sekalipun.

Ironisnya, di kantong-kantong yang menyambut seruan untuk belajar membaca Al-quran, di sana tidak ditemukan seorang guru yang memadai. Dan untuk itu harus mendatangkan guru yang berasal dari luar. Kondisi yang terjadi pada kisah pejuang quran di atas, tidaklah terjadi manakala distribusi kemampuan membaca Al-quran telah tersebar merata di tengah-tengah ummat.

Beberapa tahun program pengajaran itu berjalan. Kabarnya, kini Aisyah karena kondisi kesehatannya, sudah tidak memungkinkan lagi melakukan pengajaran di kantor-kantor yang masih membutukan guru tahsin itu. Sementara mereka tetap dahaga dan selalu mendambakan untuk bisa membaca Al-quran demi meraih keutamaan yang besar darinya. Cerita yang cukup tragis dan berlalu begitu saja tanpa solusi. Rasanya cukup menyedihkan.

Terlepas dari cerita yang kurang menyenangkan tersebut, manfaat dan keutamaan dari interaksi dengan Al-quran memang tidak bisa kita ragukan lagi. Berkaca pada kehidupan Rasulullah SAW dan sahabat, mereka adalah contoh generasi Al-quran yang merupakan generasi terbaik yang pernah ditampilkan dalam kehidupan ini.

Mereka dijuluki juga generasi Al-quran, karena nilai-nilai Al-quran benar-benar membumi dan dijadikan referensi dalam memecahkan permasalahan kehidupan. Waallahu’alam, sepertinya generasi ini tidak akan pernah ditampilkan lagi dalam panggung kehidupan ini. Mereka menjadi contoh abadi bagi ummat setelahnya hingga datang yaumil akhir nanti.

Namun demikian, hendaknya tidak ada kata menyerah untuk mencontoh dan mewujudkan generasi seperti mereka itu. Allah tidak akan menilai dari hasil akhir tentang seberapa jauh generasi itu akan menyerupai generasi mereka, akan tetapi Allah akan nilai segala upaya-upaya yang telah dilakukan.

Yang menjadi renungan, apakah ummat secara umum memiliki mental pembelajar seperti ibu-ibu di kawasan perkantoran Thamrin itu ataukah guru secara umum memiliki mental pejuang seperti kisah Aisyah di atas?

Sungguh indah jika dua kondisi di atas bertemu. Insya Allah, di tengah kegalauan akibat kesimpangsiuran informasi dan instabilitas ekonomi ini, kita masih bisa berharap ada secercah cahaya bagi turunnya keberkahan dari langit yang menaungi ummat ini. Keberkahan yang menjauhkan ummat dari segala musibah dan fitnah. Keberkahan yang menjadikan ummat ini makin kuat melawan hegemoni asing yang berkuasa.

Waalahua’lamu bishshawaab
Muhammad Rizqon
(rizqon_ak@eramuslim.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar